Sebuah Cerita Perjuangan Untuk Melahirkan; Tentang Istri Saya

Kamis malam (22/5/2014), sekitar pukul 21.13 WIB, posisi saya masih di kantor—KPPN Banda Aceh—saat ponsel berdering. Panggilan itu berasal dari istri di Kota Medan. Sebenarnya agak malas menerima panggilan darinya karena seharian itu entah kenapa istri saya berubah jadi ketus, padahal selama kehamilan tak ada masalah serius, tapi seharian itu apapun yang saya lakukan atau katakan, salah menurutnya. Memang sejak pagi hari dia merasakan sering sakit di perutnya. Saya sih beranggapan itu kontraksi palsu akibat kelelahan bekerja. Ya, terlalu lelah, mungkin itu alasan kenapa sikapnya berubah menjadi garang.

"Dek udah periksa ke klinik, Dek udah buka satu. Kata bidan, mungkin melahirkan antara satu atau dua hari ke depan," kata istri saya di telepon.

Sontak saja, saya merasa kaget saat mendengarnya. Padahal prediksi dokter langganan kami, istri melahirkan di pekan kedua bulan Juni 2014. Apalagi waktu itu berdekatan dengan momen liburan panjang, sebagian besar rekan kerja di kantor bahkan telah mengajukan cuti. Jatah cuti untuk pegawai yang lain—termasuk saya—tidak diberikan karena kuota pegawai yang meminta cuti telah penuh. Tapi malam itu saya memang bertekad, jika tidak diberikan izin cuti pun, saya tetap akan pulang ke Kota Medan.

Keesokan hari, saya sampaikan kabar tersebut kepada atasan di kantor. Beruntung, alasan saya termasuk kondisi darurat dan wajib diberikan cuti, jadi tak ada masalah di kantor. Jumat malam, saya pun pulang ke Kota Medan dengan menumpang bus malam, tiba hari Sabtu pagi dan bergegas ke rumah mertua, karena istri telah tinggal di sana. Sepertinya sang bayi masih menunggu kedatangan ayahnya.

Namun ternyata, setelah menunggu hingga tiga hari, tak ada perkembangan dengan kehamilan istri. Hanya ada kontraksi-kontraksi sesaat dan tak tentu intensitasnya. Saat diperiksa kembali ke klinik, perawat pun mengatakan adalah hal yang wajar jika terjadi kontraksi singkat menjelang akhir masa kehamilan, dan menyuruh kembali memeriksakan kondisi istri ketika dia sudah benar-benar tak bisa beraktivitas. Akhirnya istri pun berkeinginan untuk kembali ke rumah kami, tentunya dengan izin dari kedua orang tuanya. Bahkan setelah kembali ke rumah, kami masih sempat pergi ke bioskop. Hingga Minggu (1/6/2014) dini hari, momen yang telah kami tunggu selama lebih kurang sembilan bulan itu sepertinya akan tiba.

Sekitar pukul 5 dini hari, saya terbangun dan memergoki istri "bermain" dengan telepon genggamnya. Saat itu, saya langsung menegurnya, merampas smartphone, dan menyuruhnya kembali tidur. Namun ternyata, ada raut kekhawatiran terpancar dari wajah istri. Saya yang telah bertahun-tahun mengenalnya langsung mengetahui pasti ada sesuatu yang tidak beres. Saat saya desak, istri menjawab malam itu dia "mengompol" hingga dua kali. Alih-alih air seni, cairan yang dikeluarkannya malah tidak berwarna dan tidak berbau, bahkan istri tidak merasakan saat "mengompol", saya pun langsung menebak, itu pasti air ketuban.

Saya sempat kecewa dengan istri setelah mengetahui dari pengakuannya, "mengompol" pertama diketahuinya saat pukul 1 dini hari, namun dia tidak memberitahu karena tidak ingin mengganggu tidur nyenyak saya. Kemudian pukul 5, dia mengetahui hal yang sama dan langsung mencari tahu di internet tentang pecahnya air ketuban dan pertanda persalinan; itulah saat saya memergokinya bermain smartphone.

Saat mendekati masa-masa persalinan, sudah menjadi kewajiban suami untuk bersiaga, karena itulah ada istilah 'Suami Siaga' (siap antar-jaga), wajar kalau saya kecewa istri tidak segera memberitahukan hal tersebut, karena bagaimanapun, sangat penting untuk segera melahirkan bayi saat air ketuban sudah pecah.

Pagi itu, saya pun bergegas mengantar istri ke klinik. Setibanya di sana, mertua telah menunggu karena sebelumnya saya telah memberitahukan kondisi istri. Setelah diperiksa, bidan menyarankan agar istri tinggal di klinik karena diperkirakan sore hari persalinan akan terjadi. Istri saya memang berkeinginan untuk melahirkan secara normal. Namun ternyata, setelah seharian berada di klinik, hal besar itupun tidak kunjung terjadi, meski istri sudah menerima induksi dan merasakan kesakitan akibat kontraksi, bahkan beberapa kali mengalami pendarahan.

Melihat istri berjuang seperti itu, saya benar-benar salut sekaligus respek, dan menghargai wanita dalam level tertinggi. Kesabaran dan ketangguhan istri saya benar-benar luar biasa. Saat tak ada perkembangan, sambil menahan sakit, istri masih tetap berusaha berjalan-jalan di sekitar klinik untuk mempermudah proses partus/persalinan. Namun sekali lagi, hal besar tak kunjung datang. Bidan meminta kami menunggu lagi hingga esok hari. Sepanjang malam istri terus menahan sakit dan pendarahan. Perjuangan yang luar biasa dari seorang ibu.

Senin (2/6/2014) pagi, setelah bidan melakukan pemeriksaan dan tak menemukan perkembangan mengenai kondisi istri, dia pun menyarankan untuk segera memeriksakannya ke dokter. Kemarin, ruangan bersalin klinik itu dipenuhi oleh orang-orang yang penuh dengan mimpi, optimisme, dan harapan, kini yang ada hanyalah frustrasi dan keputusasaan. Tapi istri saya tak mau menyerah begitu saja, dia tetap mengajak ngobrol janin dalam perutnya dan meminta si calon bayi untuk tetap kuat. Saya juga—entah kenapa—memiliki keyakinan sendiri pada mereka berdua. Istri dan calon anak saya sama-sama pejuang yang tangguh. Mereka pasti berhasil.

Sekitar pukul 8 kami tiba di RSU Mitra Sejati, Kota Medan. Perawat segera memeriksa kondisi kehamilan istri dan memberikan obat untuk paru-paru bayi kami, entah kenapa dengan paru-parunya. Akhirnya disepakati bahwa istri saya akan dioperasi pukul 5 sore sambil terus dipantau perkembangan kehamilannya. Saya pun segera mem-booking kamar kelas 1 untuk istri agar ia bisa beristirahat dengan tenang. Sejam kemudian, perawat datang ke kamar dan memeriksa kembali kondisi istri dan calon bayi kami. Menurutnya, detak jantung bayi terlalu cepat (sekitar 175 detak/menit). Setelah melaporkan kondisi ini kepada dokter, istri saya perlu dioperasi secepatnya. Tepat tengah hari, istri pun masuk ke ruang bedah.

Pukul 12.30 WIB, akhirnya hari besar itu tiba juga. Kebahagiaan yang saya rasakan tak bisa dilukiskan saat mengetahui bagaimana wujud makhluk cantik nan mungil yang kehadirannya sangat kami nantikan dan kami jaga selama sembilan bulan. Pertama kali melihatnya, air mata saya menetes akibat terharu dan bahagia. Bayi kami sangat cantik, dilahirkan dengan berat 3,2 kilogram dan panjang 48 centimeter.

Saya pun bergegas menemui istri yang masih terbaring lemah di ruang bedah. Tanpa basa-basi, saya pun menggenggam tangan istri dan membisikkan, "Anak kita sangat cantik, dia mirip Dek." Istri saya pun tersenyum, seketika saya bisa menangkap ketenangan dan kebahagiaan di matanya. Hari itu kami sama-sama terharu karena bahagia. Nama putri kecil kami adalah Clarissa Astrid Sofia Friezcen.

Bayi kami dirawat dalam sebuah inkubator. Perawat mengatakan, jika keesokan hari kondisinya membaik, Clarissa akan dibawa ke kamar untuk menemui ibunya. Sekali lagi, putri saya mewarisi darah pejuang dari kedua orang tuanya. Karena itu, saya yakin esok dia akan menemui ibunya dengan kondisi sehat. Hari itu, kami mendapatkan banyak ucapan selamat dan doa untuk Si Kecil, termasuk dari keluarga saya di Jawa Timur yang kegirangan.

Clarissa Astrid Sofia Friezcen
Clarissa, beberapa jam setelah dilahirkan

Keesokan hari, momen yang ditunggu-tunggu itupun tiba. Si kecil Clarissa akhirnya bisa menemui ibunya. Momen yang sangat mengharukan sekaligus membahagiakan. Putri kami sepertinya memberikan kekuatan lebih pada ibunya yang sedang terbaring lemah pascaoperasi. Sang bunda pun dengan semangat menggebu bisa duduk dan bercanda dengan putri kami, setelah sebelumnya hanya terbaring lemah.

Masa-masa pemulihan istri di rumah sakit sangat berat. Istri hanya bisa terbaring lemah sambil menahan sakit akibat pembedahan di rahimnya. Sesekali para perawat masuk untuk memeriksa kondisinya, termasuk tekanan darah, cairan infus, dan kantung urinnya (istri buang air kecil melalui selang catheter yang disambungkan ke kantung urin. Urin akan dibuang setiap kali kantung telah penuh). Istri juga merasa kesakitan setiap kali perawat menyuntikkan antibiotik kedalam pembuluh darah melalui selang infus. Karena mungkin terlalu lama tertusuk jarum infus, lengannya sampai bengkak, dan perawat terpaksa memindahkan saluran infus ke lengan lainnya. Sekali lagi, sebuah kesabaran dan ketangguhan yang luar biasa ditunjukkan oleh seorang ibu. Setiap malam, saya dan ibu mertua menginap di rumah sakit sambil menjaga istri sekaligus bayi Clarissa.

Arisandy Joan Hardiputra & Baby Clarissa
Setelah tiga hari di rumah sakit, kami pun diberikan izin untuk kembali ke rumah. Sejak adanya Clarissa, setiap malam adalah jadwal lembur bagi kami.  Terkadang Clarissa membuat kami terbangun setiap satu jam sekali karena buang air atau lapar. Tapi semua kami jalani dengan penuh kesabaran. Terus terang semua kerepotan ini masih tidak sebanding dengan kegembiraan yang kami rasakan.

Sayangnya, kebersamaan saya bersama Clarissa tak bisa berlama-lama karena masa cuti telah berakhir dan saya harus kembali bekerja. Hari Minggu (8/6/2014) tepat di hari ulang tahun saya ke-31, saya pun harus meninggalkan Clarissa dan kembali ke Kota Banda Aceh. Sebelum saya meninggalkannya, saya berlama-lama memandanginya yang sedang tertidur dan tak terasa lagi-lagi harus menitikkan air mata.

Namun, pengalaman ini membuat saya semakin bertekad untuk mewujudkan resolusi kedua saya di tahun ini. Setelah resolusi saya untuk memiliki anak yang sehat dan normal terwujud, maka saatnya saya berusaha untuk tinggal bersama mereka. Untungnya, saat ini saya telah mendapatkan sebuah rumah sewa sederhana untuk tempat tinggal kami di Banda Aceh. Saya tak ingin melewatkan sedikitpun momen kebersamaan bersama putri kecil saya, apapun itu—kebahagiaan, kelucuan, kerepotan, bahkan tangisnya sekalipun. Rencana saya, istri dan Clarissa akan saya bawa ke Banda Aceh untuk tinggal bersama setelah lebaran tahun ini.

Arisandy Joan Hardiputra & Clarissa
Foto ini diambil saat hari ulang tahun saya ke-31, sebelum kembali ke Banda Aceh


Clarissa Astrid Sofia Friezcen


Nama putri kami, Clarissa Astrid Sofia Friezcen, sebenarnya sudah lama kami rencanakan, bahkan sejak sebelum istri hamil. Entah kenapa, saya dari awal memang mendambakan seorang anak perempuan. Mungkin karena saya tidak memiliki saudari (satu-satunya kakak perempuan saya meninggal dunia sebelum saya sempat mengenalnya). Selain itu, orang tua saya juga mendambakan seorang cucu perempuan, karena sejak kakak perempuan saya meninggal, ibu melahirkan empat orang anak lelaki, termasuk saya. Orang tua saya juga telah memiliki seorang cucu laki-laki dari abang saya.

Kehadiran Clarissa adalah pemecah kebekuan, pemberi harapan, dan pewujud mimpi. Kehadiran putri kami disambut dengan ceria dan penuh semangat oleh keluarga besar. Satu-satunya harapan terbesar saya selama kehamilan istri adalah kondisi anak dan istri sehat. Bagaimanapun juga, seorang anak adalah berkah, apapun jenis kelaminnya. Clarissa yang seorang perempuan adalah bonus untuk saya.

Saya sering mendengar banyak orang mengatakan, nama juga merupakan sebuah doa. Nama lengkap putri kami bisa diartikan sebagai berikut:

Clarissa (berasal dari Bahasa Yunani) yang berarti Pintar;
Astrid (berasal dari Bahasa Rusia) yang berarti Cantik atau Berkulit Terang; ini juga nama kakak pertama saya yang meninggal dunia;
Sofia (berasal dari Bahasa Yunani dan Italia) yang berarti Bijaksana; juga berasal dari Bahasa Inggris, Soft, yang berarti Lembut;
Friezcen adalah gabungan singkatan nama istri dan nama alias saya : Friezta dan Cecen.

Nama lengkap putri saya memiliki makna: Putri kami yang pintar, cantik, berkulit terang, bijaksana, dan lembut.

Baby Clarissa Astrid Sofia Friezcen



Ucapan Terima Kasih dan Apresiasi


Seperti yang telah saya sebutkan, kehadiran Clarissa adalah sebuah berkah terindah untuk keluarga kami. Karena itu, saya ingin menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak di bawah ini yang telah berperan langsung maupun tidak langsung dalam memberikan dukungan, doa, semangat, dan motivasi kepada saya dan istri untuk selalu sabar, tegar, kuat, dan semangat menyambut kehadiran Clarissa hingga mendidiknya menjadi wanita dewasa seutuhnya:

  1. Istri saya, tak cukup kata dan kalimat untuk menunjukkan kasih sayang saya kepadanya;
  2. Kedua orang tua saya, saudara-saudara, dan keluarga besar Soim di Surabaya;
  3. Keluarga besar Paruhum Hasibuan dan Rosmalina Batubara (mertua) di Medan;
  4. Para sahabat, teman-teman, kolega, serta atasan saya di KPPN Banda Aceh;
  5. dr. Kendy Gunawan, Sp.OG., dan asistennya, Elisa, di RSU Stella Maris Kota Medan, yang dengan keramahan dan kepeduliannya telah menjadi langganan kami saat pemeriksaan kehamilan;
  6. dr. Leo Simanjuntak, Sp.OG. dari RSU Mitra Sejati Kota Medan, yang telah mengoperasi istri saya untuk melahirkan Clarissa;
  7. Bidan dan perawat dari Klinik Fatimah Ali Kota Medan;
  8. Semua pihak yang tidak disebutkan diatas namun turut memberikan dukungan dan doanya kepada kami. Sekali lagi, terima kasih.

Salam Hangat,

Arisandy Joan Hardiputra & Baby Clarissa
Arisandy Joan Hardiputra

Komentar

  1. I feel you, bund. Aku juga dulu cukup perjuangan ngelahirin anak pertama ku. Harus naik kendaraan dulu 40kilo ke klinik terdekat, trus di induksi karena bukaan nga naik2. trus pas ud lahirkan ari2 ku sempet putus dan hampir naik ke jantung (kalau nga d pegat dokter, nyawa ku ud lewat~). trus terpaksa di ambil manual sisa ari2 nya hahaha. Tapi now Im proud to be his mother~ so its worth it

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perjuangan yang luar biasa dari seorang ibu. Yes, definitely you should feel so proud.
      Semoga sehat selalu ibunda dan keluarga. Terima kasih.

      Hapus

Posting Komentar

Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.

Postingan populer dari blog ini

Hours: Film Terakhir Paul Walker yang Menginspirasi Ayah; Sebuah Resensi

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention